Sebagai aparatur sipil negara, dulu disebut pegawai negeri
sipil, mengenal dua jenis jabatan. Yaitu jabatan struktural dan fungsional. Di
lingkungan kantor kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian serta
satuan kerja pemerintah daerah kaya dengan jabatan struktural dan miskin dengan
jabatan fungsional.
Di lembaga pendidikan, perguruan tinggi, sekolah-sekolah,
sebaliknya kaya jabatan fungsional dan, minim jabatan struktural.
ASN di lembaga pendidikan yang umumnya fungsional senang
berburu untuk mendapatkan jabatan struktural, sebab jika masuk struktural,
jabatan fungsionalnya tidak gugur, masih bisa mengais rezeki dari tugas
fungsionalnya, disamping menikmati fasilitas dan tunjangan strukturalnya.
Pada birokrasi pemerintahan di kementerian dan pemerintahan
daerah, para aparatur sipil negara (ASN), lebih bercita-cita, bersemangat,
bahkan “bernafsu” untuk memburu jabatan struktural. Ada sebagian yang menjelang
usia pensiun mengejar jabatan fungsional, agar nafas kehidupan lebih panjang
dari usia 60 tahun menjadi 65 tahun.
Terkait dengan kedua jenis jabatan itu, dan masa kerja
kepegawaian yang sudah ditetapkan batas usia pensiunnya, pada level tertentu 58
tahun dan level di atasnya sampai dengan 60 tahun. Jika jabatan fungsionalnya
sudah pada level dibelakang nomenklatur jabatannya pakai utama, maka akan
mendapatkan hak pensiun sampai usia 65 tahun. Beda dengan TNI/POLRI, walaupun
pangkat jenderal, jabatan Panglima TNI atau Kapolri, ya jika sudah berusia 58
tahun pensiun.
Tetapi di TNI dan Polri, jabatan purnawirawan, Jenderal Pol
(Pur), Komjen Pol (Pur), atau Jenderal TNI (Pur), masih dicarikan oleh
pemerintah untuk mengisi jabatan lembaga publik. Menjadi Kepala Badan,
Komisaris BUMN, staf khusus kementerian, karena mereka umumnya masih gagah,
segar, cerdas, dan masih terlihat berwibawa, dibandingkan dengan ASN, jika
pensiun terutama pejabat tingginya sudah lebih banyak dirumah saja, bermain
dengan cucu, ke mesjid, gereja, berkebun sambil merawat penyakit katastropik
yang sudah mengikutinya sejak rata-rata menjelang usia 55 tahun. Jika modal
cukup dan pergaulan luas main golf seharian. Jika hobi berpolitik menjadi
anggota dan pegurus partai, syukur-syukur dapat dicalonkan menjadi anggota
DPR/DPRD.
Dari 4 situasi yang dihadapi ASN, apakah mundur dari
jabatan, mutasi (dipindahkan bisa promosi, tour of duty atau demosi), kemudian
pensiun, atau belum sempat pensiun mampir dulu masuk penjara karena urusan
pekerjaan yang banyak ranjau korupsinya.
Ada ASN yang mengalami keempat situasi itu, ada hanya tiga
situasi, tetapi yang pasti dialami adalah pemutusan hubungan kerja karena
pensiun, disamping tentunya karena kematian sebelum usia pensiun.
Hari-hari ini, kita di meriahkan dengan pemberitaan
beralihnya 7 orang pejabat eselon I dan II Kemenkes dari jabatan struktural ke
jabatan fungsional. Pengalaman saya di birokrasi, jika usia kerja masih panjang
5 atau 10 tahun lagi baru pensiun, biasanya tidak ada yang berkeinginan beralih
dari jabatan struktural ke fungsional.
Lain halnya, jika 1 tahun menjelang usia pensiun, para
pejabat eselon I dan II, sudah ancang-ancang untuk mutasi dari struktural ke
fungsional, Tetapi tidak semua. Ada juga yang memang ingin mengakhiri
pengabdianya sampai usia 60 tahun sebagai BUP (Batas Usia Pensiun).
Ada apa dengan Kemenkes?
Perlu diketahui, tidak semua kementerian punya banyak
jabatan fungsional. Itu disesuaikan dengan cakupan luasnya program sektor.
Kemenkes adalah kementerian yang mempunyai banyak jabatan fungsional, yang
nomenklaturnya beragam, menggambarkan ciri khas tugas unit kerja eselon I.
Karena banyaknya job jabatan fungsional tersebut, maka tidak
heran jika di Kemenkes, mereka pejabat struktural eselon I dan II yang
menjelang usia 60 beralih ke jabatan fungsional. Tetapi ada juga yang tidak
berminat, dan memutuskan mengambil pensiun. Beberapa teman saya pejabat eselon
i sewaktu masih bertugas, ada yang langsung pensiun dan ada juga yang mengambil
jabatan fungsional.
Terkait dengan pejabat eselon I dan II Kemenkes sebanyak 7
orang beramai-ramai beralih tugas dari struktural ke fungsional, sebenarnya hal
yang wajar saja. Apalagi sudah dipertegas oleh Sekjen Kemenkes Oscar Primadi
menjelaskan bahwa fenomena alih jabatan dari struktural ke jabatan fungsional
dokter ahli sudah terjadi sejak lama. Menurut peraturan pun memang dibolehkan,
terutama mereka yang mendekati masa pensiun.
“Itu sudah keinginan yang bersangkutan. Jangan dikesankan
dia dipaksa mundur ya, tapi memang ingin memperpanjang masa baktinya,” kata
Oscar.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kesehatan Brigjen TNI
(Purn) dr Jajang Edi Priyatno mengatakan hal yang sama, bahwa ketujuh pejabat
tersebut bukan mengundurkan diri. Mereka mengajukan diri pensiun dari jabatan
struktural di Kementerian Kesehatan.
“Ketujuh pejabat tersebut bukan mengundurkan diri. Mereka
itu mengajukan diri pensiun dari jabatan struktural di Kementerian Kesehatan
untuk menjadi pejabat fungsional. Demi Tuhan tidak ada tekanan dari pihak
manapun,” ujarnya ketika dihubungi Indonews.id di Jakarta, Kamis (16/7).
Namun demikian di berbagai media cetak dan elektronik,
beredar berita yang bertolak belakang dengan yang disampaikan oleh Sekjen
maupun staf khusus Menkes.
Kita baca koran Tempo edisi 16 Juli 2020, covernya berjudul
“Terawan di tinggal pasukan”. Sejumlah pejabat eselon I Kemenkes mundur
berbarengan di tengah pandemi yang terus memuncak. Mereka meninggalkan jabatan
lama untuk menjadi “tenaga fungsional”, sejumlah sumber menyebutkan para
pejabat itu tak sepaham dengan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Koran Tempo, menguraikan bahwa para pejabat di Direktorat
Jenderal Yankes, tidak dapat menerima kebijakan Menkes terkait berbagai data
pelayanan kesehatan kasus Covid-19. Kita tidak usah mengulas soal masalah itu,
karena pasti nanti tidak akan jelas ujungnya. Intinya adalah para pejabat itu
yang sebagian besar dari Ditjen Yankes, mutasi ke jabatan fungsional sebagai
bentuk halus perlawanannya terhadap Menterinya. Apakah Menkes menyadari bentuk
“perlawanan” ini, atau memang Menkes juga sudah tidak ingin memakai mereka
lagi, masih merupakan pertanyaan yang tersimpan.
Kenapa menjadi heboh?
Ada beberapa alasan kenapa kejadian mutasi itu yang hal
biasa menjadi luar biasa, bagi sebagian masyarakat. Pertama; mereka yang mutasi
adalah pejabat penting di Direktorat Jenderal Yankes yang menjadi garda
terdepan dalam menangani pasien covid-19 di RS. apakah memang lebih penting
jabatan fungsional dari pada jabatan struktural dalam suasana pandemi saat
ini?.
Kedua; jumlah yang mutasi itu cukup banyak 7 orang secara
bersamaan, sehingga akan menyulitkan untuk mencari pejabat pengganti yang
memenuhi syarat dan harus melalui open biding yang biasanya juga tidak bisa
cepat waktu. Ketiga; bagaimana dengan sense of crisis yang diingatkan oleh
Presiden Jokowi pada rapat Kabinet 18 Juni 2020 yang lalu?. Kemenkes disorot
Presiden karena rendahnya realisasi anggaran APBN 2020. Terkesan mutasi yang
dilakukan tidak sesuai dengan semangat sense of crisis. Terutama bagi Kemenkes
yang menjadi panglima perang melawan covid-19.
Segera Menkes mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan
oleh ketujuh pejabat lama. Momentum upaya untuk mengendalikan virus corona,
jangan menjadi terganggu bahkan menurunkan semangat dan dinamika pelayanan
kesehatan di frontliner. Namun demikian juga jangan sembarangan menempatkan
figur yang tidak memenuhi syarat baik administrasi maupun kompetensinya.
Berintegritas, bekerja keras, keberpihakan pada mereka yang membutuhkan
pelayanan kesehatan, dan loyal kepada atasan. Jika tidak bisa loyal, ya mundur
saja sebagai pejabat. Dari pada terus-menerus seperti ibarat api dalam sekam.
Banyak persoalan yang harus diselesaikan oleh Kemenkes untuk
menangani covid-19 ini. Kemenkes adalah pemain utama, yang banyak dikelilingi
tim hore yang senangnya bersorak saja. Beban itu akan menjadi ringan jika
dipikul bersama, seluruh jajaran dan aparatur kesehatan di semua tingkatan
wilayah, dengan dirigen nya Menkes. Bayangkan jika dirigen sudah menggerakkan
tangannya untuk suatu irama musik tertentu, para pemain tidak memainkan alat
musik, yang terjadi sunyi dan senyap. Demikian juga jika gerakan tangan dirigen
nya tidak sesuai dengan not musik lagu, maka bukan simponi indah yang didengar
tetapi berupa noise.
Harapan masyarakat, semoga Kemenkes dapat menjadi “juru
selamat” dalam upaya menurunkan wabah covid-19, yang masih terus menanjak kasus
terinfeksi. Tentu ke semua itu, akhirnya ketentuan Allah SWT yang akan berlaku
atas dunia yang merupakan milikNya.
Oleh : Chazali H. Situmorang
Dosen FISIP UNAS/Pemerhati Kebijakan Publik
Cibubur, 17 Juli 2020
Sumber: mudanews.com
Posting Komentar